Basic Models of Approaching Sustainability Issues in Chemistry Education

 Basic Models of Approaching Sustainability Issues in Chemistry Education 
(Model Dasar Mendekati Isu Keberlanjutan dalam Pendidikan Kimia)

Model 1: Adopting Green Chemistry Principles to the Practice of School Lab Work (Mengadopsi Prinsip-Prinsip Green Chemistry dalam Kerja Praktik di Lab Sekolah)

Contoh:

Melakukan uji identifikasi senyawa hidrokarbon yaitu dengan melakukan pembakaran, tepung, gula, garam yang diletakkan diatas sendok, kemudian sendok tersebut di letakkan di atas korek api.


Model 2: Adding Sustainability Strategies as Content in Chemistry Education (Menambahkan Strategi Keberlanjutan sebagai Konten dalam Pendidikan Kimia)

Untuk mengurangi dampak pembakaran dari kendaraan atau dari pabrik maka perlu dipertimbangkan penggunaan bahan bakar alternatif yang dapat dperbarui dan ramah lingkungan seperti tenaga surya dan sel bahan bakar (fuel cell).

Mempertimbangkan penggunaan MTBE (Metil Tersier Butil Eter) pada bahan bakar kendaraan untuk meningkatkan bilangan oktana.

Mempertimbangkan penggunaan EFI (Electronic Fuel Injection) pada sistem bahan bakar kendaraan akan menghasilkan pembakaran sempurna sehingga mengurangi emisi gas polutan.

Mempertimbangkan penggunaan converter katalitik pada system buangan kendaraan/knalpot. Converter katalitik pada knalpot kendaraan bermotor dapat mengubah gas buang sepeti CO dan NOx menjadi gas yang lebih aman yaitu N2 dan CO2.

Model 3: Using Controversial Sustainability Issues for Socio-Scientific Issues Which Drive Chemistry Education  (Menggunakan Isu Kontroversial Keberlanjutan untuk Isu Socio-Scientific yang Mendorong Pendidikan Kimia)

Contoh:

Efek rumah kaca

Beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit tenaga listrik, serta penebangan hutan.

(https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/pemanasan-global-global-warming-76)

Untuk mengurangi efek rumah kaca, kita perlu melakukan Tindakan seperti mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih menggunakan kendaraan umum, tidak membakar sampah, memelihara pepohonan dan melakukan reboisasi ataupun pembuatan ta, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil 


Konversi minyak tanah ke gas LPG

Pemerintah RI pada awal tahun 2007 meluncurkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas LPG (Liquid Petroleum Gas) yang selanjutnya disebut elpiji. Meskipun banyak pro dan kontra karena terkesan terburu-buru, kebijakan pemerintah tersebut tetap dijalankan.

Program konversi minyak tanah ke LPG diperlukan karena penggunaan LPG lebih efisien dan mudah digunakan. LPG lebih cepat memanaskan masakan daripada kompor minyak. Selain itu, LPG dalam proses pembakarannya tidak menghasilkan asap dan tidak berbau jadi lebih bersih dan ramah lingkungan. Lain halnya dengan minyak tanah dalam proses

pembakarannya menghasilkan asap dan berbau. Asap hasil pembakarannya, dapat mengotori lingkungan dan menghasilkan gas karsinogenik yang apabila dihirup dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kanker. Maka konversi minyak tanah ke LPG sangat diperlukan.  


Perubahan Iklim

Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim. Perubahan iklim disebabkan adanya peningkatan suhu di permukaan bumi akibat dari efek rumah kaca. Fenomena efek rumah kaca dipengaruhi oleh gas–gas rumah kaca yang dikenal sebagai greenhouse effect gases. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Indonesia yang ada kaitannya dengan perubahan iklim akibat efek rumah kaca adalah konsumsi bahan bakar fosil yang amat banyak. Berdasarkan survei yang dilakukan lembaga kesehatan dunia WHO pada tahun 2013 menyatakan bahwa empat negara Asia yaitu Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Thailand memiliki lebih dari 1 sepeda motor untuk setiap 4 orang seperti yang ditujukkan pada gambar 5. Semakin banyak jumlah sepeda motor maka semakin banyak pembakaran bahan bakar minyak yang dihasilkan. Dengan demikian dapat dibayangkan berapa banyak gas-gas rumah kaca yang terbentuk dan mencemari lingkungan. (Ribowo, https://berandainovasi.com/).


Hujan Asam

Pandangan bahwa pencemaran udara semata-mata merupakan masalah urban saat ini mulai kembali, dengan adanya fakta hujan yang bersifat asam turun di daerah pedesaan, perkebunan dan wilayah hutan. Hujan asam merupakan karakteristik dari polusi regional. Hal ini disebabkan atmosfer dapat mengangkat berbagai zat pencemar ratusan kilometer jauhnya sebelum menjatuhkannya ke permukaan bumi. Zat-zat kimia yang merupakan senyawa asam, seperti asam nitrat (HNO3) dan asam sulfat (H2SO4) bercampur dengan partikel-partikel udara lainnya yang kemudian jatuh ke permukaan bumi dalam bentuk deposisi kering dan deposisi basah.

Terjadinya hujan asam, terutama disebabkan oleh pencemaran udara baik yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam dalam kegiatan industri dan transportasi dengan kendaraan bermotor, yaitu gas-gas oksidanitrogen (NO dan NO2), serta oksida belerang (SO2 atau SO3). Gas-gas ini juga dihasilkan dari letusan gunung berapi


Model 4: Chemistry Education as a Part of ESD-Driven School Development  (Pendidikan Kimia sebagai Bagian dari Pengembangan Sekolah Berbasis ESD) 

Contoh:

Membuat lingkungan sekolah menjadi lingkungan sekolah yang hijau (Green School) untuk mengurangi dampak emisi CO2 di udara. Selain itu, tujuan dari sekolah hijau adalah untuk membentuk kebudayaan baru di lingkungan sekolah yakni budaya memelihara lingkungan sekolah dan juga lingkungan sekitar sekolah agar nyaman dan aman bagi semua warga sekolah dalam menjalani kegiatan pendidikan. Hal ini sesuai dengan nilai karakter religius yaitu mencintai lingkungan.